Kumpulan Artikel Ilmu Pemerintahan

Facebook
RSS

KAJIAN KETAHAN NASIONAL

-
Van Odezt

Hubungan bilateral  yang terjadi antara RI (Republik Indonesia) dengan Malaysia mengalami pasang surut kadang harmonis kadang terjadi konflik diantara keduanya, untuk itu jika kita ingin melihat hubungan yang terjadi pada negara serumpun ini kita mesti melihat kembali sejarah untuk mengetahui akar permasalahan hubungan yang terjadi antara kedua negara  serumpun ini.
Pada awalnya tahun 1960-an Indonesia-Malaysia pernah terlibat konflik sengit. Pemicunya adalah keinginan Malaysia untuk menggabungkan wilayah Brunei, Sabah, dan Sarawak dalam Persekutuan Tanah Melayu. Keinginan itu ditentang oleh Presiden Soekarno yang menganggap Malaysia sebagai    "boneka" Inggris. Perang pun berkecamuk hingga akhir tahun 1965-an. Kala itu, jargon masyhur yang dikeluarkan oleh Soekarno adalah "Ganyang Malysia". Kejadian ini pun populer dengan sebutan Konfrontasi Malaysia-Indonesia atau         juga disebut sebagai Konfrontasi saja.      Konfrontasi ini pun reda kala terjadi pergantian tampuk kepemimpinan di wilayah RI menjelang akhir tahun 1965-an. Dengan strategi rumit melalui Supersemarnya, Soeharto dapat mengambil alih kekuasaan dari Soekarno. Tak seperti pendahulunya yang lebih pro-Timur, Soeharto yang pro-Barat dengan segera dapat menyelesaikan konflik. Pada 28 Mei 1966 di sebuah konferensi di Bangkok, Indonesia-Malaysia menyepakati penyelesaian konflik. Kekerasan berakhir bulan Juni dan perjanjian perdamaian pun ditandatangani pada 11 Agustus yang diresmikan dua hari kemudian.
Selama era Orde Baru, boleh dibilang hubungan kedua negara serumpun ini cukup harmonis. Banyak kesepakatan-kesepakatan kerjasama bilateral di bidang ekonomi, pendidikan, sosial, dan budaya ditandatangani. Meski begitu, kerikil-kerikil kecil masih cukup banyak menghiasi perjalanan Indonesia-Malaysia. Sebut saja persoalan tentang perebutan pulau Sipadan dan Ligitan sejak 1967, masalah TKI dan perebutan wilayah teritorial.
Setelah Soeharto lengser pada Mei 1998, ledakan-ledakan dalam skala lebih besar kembali mengusik hubungan Indonesia-Malaysia. Persoalan-persoalan yang belum tuntas pada masa Orba, banyak menjadi pemicu ketegangan. Diawali dengan lepasnya pulau Sipadan dan Ligitan pada tahun 2002 oleh keputusan Mahkamah Internasional.  Hubungan kedua negara yang diibaratkan dengan abang-adik ini pun kembali memanas. Seperti kita tahu, persoalan perebutan pulau Sipadan dan Ligitan diserahkan oleh Soeharto kepada Mahkamah Internasional pada 1997, saat krisis melanda.     
Belum sembuh shock Indonesia yang terjadi karena kehilangan dua pulau di atas, kembali Malaysia menyulut persoalan dengan mengklaim blok Ambalat sebagai wilayah teritorial mereka pada tahun 2005. Negeri Jiran ini mempersilahkan perusahaan minyak Amerika, Shell untuk melakukan eksplorasi di laut Sulawesi.       
Malaysia mengklaim blok Ambalat yang berada di perairan Karang Unarang tersebut adalah milik Malaysia. Padahal, berdasarkan deklarasi Juanda 1957, pulau tersebut milik Indonesia. Deklarasi Juanda sendiri pada tahun 1959 telah diadopsi oleh PBB ke dalam Konvensi Hukum Laut. Dengan demikian, PBB pun mengakui kepemilikan Indonesia atas pulau itu. Kasus Ambalat menjadi titik ketegangan tertinggi pasca Konfrontasi. Pemerintah RI kemudian mengerahkan tujuh kapal perangnya ke perairan Karang Unarang. Bahkan rakyat setempat meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap ulah pemerintah Malaysia. Slogan politik "Ganyang Malaysia" pun kembali populer. Keadaan ini bukan hanya terjadi di Sulawesi tetapi juga di Jawa Barat dan wilayah Indonesia lainnya.
Adapun berdasarkan kondisi hubungan bilateral yang seperti ini bisa berdampak pada pemutusan hubungan bilateral dari kedua negara dan menurut saya ini bisa menjadi boomerang bagi negara indonesia sendiri kenapa? Karena akan berdampak buruk terhadap perekonomian Indonesia, apalagi saat ini belum ada kestabilan di bidang politik maupun ekonomi.
Pemerintah, baik Indonesia maupun Malaysia perlu memikirkan dengan matang dampak buruk konflik ke sektor ekonomi dan investasi. Jika Indonesia memutuskan untuk menerapkan embargo perekonomian dengan Malaysia akan berdampak buruk terhadap kondisi perekonomian di Indonesia.
Setidaknya ada efek jangka pendek dan jangka panjang yang akan terjadi jika Indonesia tegas menyatakan pemutusan hubungan kerja sama dengan Malaysia. efek jangka pendeknya yang akan terjadi adalah meningkatnya pengangguran di Indonesia secara tajam mengingat tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di Malaysia jumlahnya tidak sedikit. "TKI yang bekerja di Malaysia kebanyakan disebabkan faktor sedikitnya lapangan pekerjaan di Indonesia sehingga jika mereka ditarik kembali tentunya berdampak kepada meningkatnya angka pengangguran.
 Hal tersebut, hanya bisa diatasi jika dari awal pemerintah Indonesia sudah menyediakan lapangan pekerjaan bagi warganya. Untuk efek jangka panjangnya adalah menurunnya devisa negara yang selama ini banyak disumbangkan oleh para TKI kepada Indonesia.
Oleh karena itu agar tidak terjadinya berbagai permasalahan  yg timbul akibat batas wilayah yang sering sekali terjadi maka sebaiknya pemerintah RI harus melakukan pengawasan ketat di perbatasan laut, terkait batas teretorial wilayah, dan juga pemerintah harus melengkapi arsip-arsip yang menunjang kedaulatan NKRI serta peralatan-peralatan yang memadai sehingga tidak dapat memunculkan berabgai persoalan di perbatasan wilayah


Leave a Reply